ENDING: Sekumpulan Nyawa Mencintai Fana, Aku Salah Satunya. Oleh: Deby Thamara
Aku kerap lupa, mengapa harus mematuhi sabda? Atau keliru menjadikan cinta manusia sebagai pelipur lara. Lupa—siapa yang menitip jantung dan lambung.
Udara makin menghitam, pelukan satu persatu hilang ditelan musim. Lagu-lagu elegi serupa harga mati. Sukma makin renta, doa keselamatan masih di perjalanan.
Kuhitung angka di rumah duka. Deretnya mendekati satu persatu nama. Usia membakar dirinya sendiri, menjemput abu di sepanjang jejak pilu. Menanggalkan sedu di ufuk rindu.
Satu saja yang aku yakini, doa adalah pengantar fiksi menuju fakta. Itu benar adanya.
Kucari sekali lagi, apa yang membuatku tak bisa mengampuni diri sendiri? Dengan berbaik hati cahaya itu memijar di sudut mata.
“Tabahlah dengan seindah-indahnya tabah, kirimi maaf yang benar untuk sang pemberi memar, hadiahi peluk untuk tubuh yang dijerat pelik, dan tetap bertahan karena Tuhan.”
Kulepas satu persatu residu racun di tubuhku. Kubiarkan memuai diurai waktu. Hingga hari di mana aku didekap tanpa sentuhan, aku memejam dengan sebaik-baiknya damai.