Opini  

Vox Populi Vox Dei Tidak Bermakna Pada Pilpres 2024

Oleh Marianus Gaharpung, Dosen FH Universitas Surabaya/ Ubaya

Rabu 14 Pebruari pesta hajatan demokrasi rakyat pemilihan pemimpin bangsa dan wakil rakyat duduk di parlemen di pusat, provinsi, kabupaten/kota sudah selesai. Sekarang menunggu penghitungan suara KPU dan masing-masing team sukses paslon pilpres. Hasilnya satu atau dua putaran pilpres ditunggu saja penetapan KPU.

Suka atau tidak bahwa proses pencalonan sampai pencoblosan pilpres kali ini paling buruk sepanjang sejarah pesta demokrasi pemilihan secara langsung.

Selama lebih kurang setahun persiapan pemilihan presiden wakil presiden serta wakil rakyat terekam secara jelas oleh publik adanya pengelompokan rakyat, partai politik, organisasi masyarakat, organisasi profesi dengan pilihannya masing masing terhadap calon pemimpin bangsa serta wakil rakyat.

Lumrah dalam dinamika demokrasi tetapi yang menjadi titik soalnya dalam pesta demokrasi kali ini adalah ketidaknetralan Presiden Joko Widodo terang benderang dipertontonkan. Kegaduhan publik beberapa bulan terakhir ini biang soalnya ada pada orang nomor satu di republik yang tidak netral alias mencla mencle. Misalnya dilayar kaca Joko Widodo berkampanye untuk Partai Solidaritas Indonesia (PSI) “PSI Pasti Menang”.

Ketua umumnya Kaesang Pangarep putranya sendiri menjadi ketua umum parpol nasional termuda yang berkontestasi pada Pemilu 2024.

Keikutsertaan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres publik yang bernalar rasional tidak bisa menerima.

Alasanya proses cawapres diduga melanggar hukum dan etika. Prosesnya menabrak konstitusi yang dinahkodai pamannya sendiri Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman dengan lahirnya putusan No. 90 meloloskan putra pertamanya Joko Widodo maju cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto.

Anwar Usman jadi tumbal diberhentikan sebagai ketua MK karena melanggar etik berat. Tidak berhenti disini saja, dugaan rekayasa pasangan Prabowo Gibran diterima pendaftaran oleh KPU sebagai capres cawapres menggunakan Peraturan KPU yang sama sebelum putusan MK No. 90 tersebut. Hal ini jelas melanggar peraturan KPU akibatnya Ketua KPU Pusat Hasyim Asy’ari dikenakan sanksi etik berat yang terakhir.

Joko Widodo terus cawe- cawe demi memenangkan anaknya pada Pilpres dengan
merekayasa pemberian bansos kepada rakyat. Sehingga bansos salah satu variabel jitu yg dimanfaatkan untuk mengubah pilihan masyarakat grassroot.

Apalagi bansos itu dirapel tiga periode sekaligus. Itu sangat efektif untuk mengubah pilihan, sekalipun orang itu tadinya sudah punya pilihan.

Gelontoran bansos dilakukan pada injury time coblosan artinya euforianya belum selesai ketika coblosan berlangsung, sehingga masyarakat jelas akan terbius akhirnya mudah dikendalikan dalam situasi euforia mendapatkan bansos itu.


Di situ salah satu strategi jitu Jokowi. Ini dugaan kuat adanya penyalagunaan wewenang berdasarkan hukum administrasi pemerintahan. Tinggal publik mendorong agar org nomor 1 di republik ini diproses hukum dengan gugat di MK dengan petitum diberhentikan sebagai presiden.

Karena Jokowi benar- benar memanfaatkan kewenangannya hanya untuk legalitas pijakan pergerakannya, tanpa peduli soal hukum moral apalagi etika. Gerakannya seakan legal tapi imoral. Begitu juga pada soal pengerahan segala kekuatan negara dengan memanfaatkan posisi kekuasaannya.

Wajar publik “meng-glorifikasi” kemenangan Prabowo dengan memberikan berbagai gelar hebat pada Jokowi atas kekuatannya membantai banteng tetapi apapun prestasinya di masa Jokowi ini tetapi bangunan demokrasi runtuh berkeping-keping.

Kepercayaan publik terjun bebas terhadap segala bentuk gerakan yg mengatasnamakan hukum, apalagi politik. Prabowo dan Gibran jika benar lolos sebagai presiden wakil presiden 2024 -2029, nanti dalam masa kepemimpinannya, akan lebih sulit dari sekadar “PETUGAS PARTAI”, dalam memutuskan segala sesuatu.

Bayangan hutang balas budi kepada Jokowi akan selalu menghantuinya, dan akan terus menjadi “kerbaunya” Jokowi yang dicocok hidungnya dan ditarik ke manapun yang Jokowi kehendaki.
Atas dasar hal- hal demikian pada akhirnya rakyat akan terus menjadi obyek penderita.

Karena kedaulatan rakyat yang dimaknakan “vox populi vos Dei” yang diberikan pada 14 pebruari lalu diduga untuk melegasikan bangunan dinasti Orde Baru jilid II. Semoga dugaan ini tidak akan terjadi kasihan rakyatku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *