Opini  

Catatan Kritis Buat Penasehat Hukum Warga yang Masuk Tanah HGU PT Krisrama Nangahale

Catatan Hukum: Marianus Gaharpung, Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya/UBAYA
Marianus Gaharpung,SH,MH. Dosen Fakultas Hukum Ubaya Surabaya

indotimex.com, Surabaya – Lahan HGU, ratusan hektar serta subur membuat siapa saja tergiur menguasai lahan tersebut yang terletak di wilayah Patiahu Nangahela.

Selama ini perjuangan Suku Goban dan Soge sangat getol difasilitasi AMAN dan Penasehat Hukum (PH). Perjuangan memperoleh hak atas tanah sudah bertahun tahun tidak pernah goal (berhasil).

” Karena legalitas kedua suku itupun hanya berlaku dan mengikat warganya saja tetapi tidak memberikan implikasi hukum kepada negara atas eksistensi kedua suku tersebut. Terbukti perjuangan bertahun-tahun yang katanya sudah habisin banyak biaya agar mendapat legalitas atas lahan negara untuk kedua suku tersebut ternyata nihil.

Sehingga timbul upaya sporatis dan dugaan kuat adanya oknum-oknum sebagai “otak” membolehkan warga masuk lahan negara untuk bertani, beternak bahkan ada yang sembrono menjual lahan dengan alasan hak masyarakat adat atas tanah ulayat tersebut. Lucu dan irasional beberapa oknum warga memasuki lahan tanpa alas hak tetapi membuat narasi agar negara wajib mengakui perbuatannya.

PT Krisrama yang telah mendapatkan SHGU dari negara dituduh ada konspirasi pejabat tun Agraria dan Tata Ruang dari pusat sampai daerah.

Padahal berdasarkan ketentuan hukum banyak kelemahan dari warga yang memasuki lahan HGU PT Krisrama. Sehingga apapun upaya administratif berupa keberatan dan/atau banding kepada pejabat Agraria dan Tata Ruang serta mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dan pengadilan tata usaha negara akan sulit terlaksana dan dikabulkan.

Ada beberapa aspek yang wajib dikaji secara logik argumentasi dan prediktabilitas atas tanah HGU yang dimasukin warga tersebut tingkat pencapaian keberhasilan besar atau tidak sama sekali. Tetapi jangan memberikan angin surga kepada warga bahwa penanganan masalah ini akan berhasil dalam jangka waktu yang lama.

Lamanya ini satu, dua atau sampai sepuluh tahun tidak ada jaminan kepastian padahal warga membutuhkan kepastian hak atas tanah dari negara. SHGU PT Krisrama atas tanah negara di Patianu Nangahale sudah final dan konkrit.

Final artinya SHGU sah dan mengikat tanpa harus mendapat persetujuan pejabat yang lebih tinggi atas penerbitan SHGU.

Konkrik artinya SHGU menimbulkan hak dan kewajiban hukum bagi PT Krisrama mengelola lahan negara sesuai peruntukannya dalam jangka waktu yang ditentukan.

Ada beberapa hal yang sulit dipenuhi warga atau PH dalam menyelesaikan tanah HGU baik secara nonlitigasi dengan pejabat TUN maupun litigasi melalui pengadilan sebagai berikut :

“Pertama, jika warga mengklaim tanah suku (masyarakat adat), maka wajib memperhatikan penempatan, penetapan dan pemeliharaan batas tanah berdasarkan persetujuan pihak pihak yang berkepentingan dalam hal ini tetangga yang berbatasan.

Pertanyaannya, siapakah yang dimaksud tetaggga yang wajib secara hukum memberikan persetujuan kepada warga kedua suku?

Hal ini disebut azas contradicture demilitatie.

Kedua, penempatan tanda- tanda batas termasuk pemeliharaannya wajib dilakukan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan (Pasal 17 (3) PP 24 tahun 1997).

Pertanyaannya, apakah warga kedua suku yang selama ini mengaku pemegang hak ulayat atas tanah, mempunyai tanda tanda batas melalui pengakuan/penetapan pejabat tun Agraria dan Tata Ruang Sikka atau pengakuannya sendiri dari kedua suku lalu memaksa negara wajib mengakui?

Ketiga, Apakah warga kedua suku mampu menunjukkan batas- batas tanah yang menjadi obyek hak milik ( tanah hak ulayat)? Faktanya warga menyerobot masuk lahan HGU PT Krisrama berarti warga kedua suku tidak mampu membuktikannya malah melalukan tindakan melanggar hukum.

Keempat, Jika tidak mampu membuktikan karena menyeroboti tanah HGU PT Krisrama, maka sudah dapat dipastikan bahwa warga dari kedua suku melalui PH tidak akan mau melakukan gugatan baik pembuktian hak milik di pengadilan negeri maupun pembuktian prosedur penerbitan SHGU PT Krisrama di pengadilan tata usaha negara.

Karena menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1249 K/SIP/1979, 17 April 1979 yang menyatakan “karena dalam surat gugatan tidak disebutkan dengan jelas letak atau batas batas tanah sengketa, maka gugatan tidak dapat diterima.

Yurisprudensi MA No. 1559K/Pdt/ 1983 yang menyatakan gugatan yang tidak menyebutkan batas obyek tanah sengketa dinyatakan obscuur libel atau gugatan tidak dapat diterima.

Demikian catatan kritis ini, warga kedua suku bisa memilah dan memilih langkah hukum yang logik argumentatif.

Karena apapun alasannya pejabat tun Agraria dan Tata Ruang tidak mungkin memberikan bukti berupa sertifikat hak atas tanah di atas tanah yang sudah terbit SHGU atas nama PT Krisrama. Itu disebut tumpang tindih perbuatan melanggar hukum oleh pejabat tun Agraria dan Tata Ruang sesuai Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2019.

Oleh karena itu, warga kedua suku terutana PH mengkaji secara logik argumentatif, masih yakinkah perjuangan sekian tahun tersebut akan membuahkan hasil positif berupa pengakuan hak atas tanah dari negara?
Coba direnungkan!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *