News  

Badut Merah di Lampu Merah itu Cantik dan Lucu, Ternyata Dia Istriku

Istimewa: Badut Merah

Jakarta, indotimex.com– Setelah berdebat tadi, aku memang meninggalkan dia untuk keluar jalan-jalan, tentunya bersama Ida. Setidaknya pusing di kepala ini langsung hilang ketika melihat senyum manisnya.

“Ke mana, sih, perempuan ini? Selalu saja bikin aku emosi.”

“Assalamu’alaikum.” Tidak berapa lama Ning datang.

“Astaga, suami pulang bukannya di rumah malah kelayapan.”

Ning hanya diam saja, sama sekali tidak menjawab ucapanku. Dia langsung pergi ke belakang mengambil segelas air putih untukku, dan masih tetap diam.

Sok-sok’an ngambek segala. Memangnya aku peduli. Harusnya ‘kan aku yang marah.

Coba saja Ida yang menyambutku saat pulang ke rumah, pasti rasa lelahku langsung hilang. Tidak seperti sekarang, aku merasa tidak nyaman berada di rumah.

 

Istimewa: Badut Merah

Pagi yang kunanti telah tiba. Waktu yang selalu membuat semangat karena akan bertemu dengan pujaan hati.

Ida Indriyani … sedetikpun rasanya enggan untuk menghilangkan bayangannya dari pikiranku.

Hari ini aku sengaja bangun lebih awal dari biasanya agar bisa lebih lama berduaan dengan Ida.

Suara kicau burung menyahut siulanku yang berirama lagu cinta. Saat ini aku merasa seperti jaman ABG dulu.

Hah … cinta memang tidak memandang usia. Begitu indah.

Aku segera keluar dari kamar untuk sarapan. Seperti biasa, tumis sawi putih dan sebungkus kerupuk. Sudah tiga hari ini menunya sama.

D*s*r perempuan tidak bisa membahagiakan suami, dari masakannya saja tidak menghargai lelahku banting tulang. Masa’ iya ganti menu masakan dua atau tiga hari sekali. Uang yang aku kasih buat apa?
.
Sawi putih, bayam, kangkung, itu melulu. Mentang-mentang nanam sayur sendiri, Ning jadi seenaknya menyiapkan menu makan untukku.

“Ning … Ningrum ….”

Dari tadi aku tidak melihat dia. Biasanya sudah mondar-mandir sampai bikin mata ini sepet melihatnya.

“Sudahlah, memang lebih baik tidak melihatnya. Mending sarapan di luar bersama Ida.” Aku pun segera meninggalkan meja makan.

Saat hendak menutup pintu, aku melihat sebuah kertas yang menempel di gagang pintu. Segera mengambil dan membaca tulisan yang tertera.

(Mas, aku izin keluar. Sarapan sudah aku siapkan. Maaf kalau tidak pamit langsung, tadi Mas Heru belum bangun.)

Aku membuang kertas tersebut, bagiku tidak penting Ning mau ke mana. Tidak izin pun aku tidak akan khawatir.

“Mas Heru, tumben pagi banget jemputnya?” Ida yang belum selesai dandan kaget melihatku sudah di depan pintu kontrakannya.

“Sengaja mau kasih kamu kejutan. Mas mau ngajakin kamu sarapan di luar, Da.”

“Tunggu sebentar, ya, Mas. Aku selesein dulu dandannya. Masa’ iya masih pakai roll rambut begini.”

“Mau pakai roll, mau ngga sisiran, kamu tetap terlihat cantik, Da. Ini yang bikin Mas tidak bisa melupakan kamu.”

“Gombal, ah.”

Mungkin saat ini aku sudah seperti orang tidak waras, senyum-senyum sendiri duduk di teras menunggu Ida selesai dandan. Entah kenapa, Ida selalu bisa membuatku bahagia.

Suatu saat nanti, aku akan meminangmu, Da.

“Ayo, Mas. Aku sudah siap.” Ida keluar dengan tatanan rambut berbeda. Biasanya dikuncir ke atas dengan poni depan. Hari ini rambutnya dibiarkan tergerai. Sungguh perempuan ini sangat memesona. Bau parfumnya pun membuat hasrat kelelakianku meronta.

Rasanya mata ini enggan berkedip melihat Ida yang sangat cantik.

“Sampai kapan bengong seperti itu, Mas.”

Aku tersipu malu dibuatnya. “Kamu cantik sekali, Da.”

“Apa ngga bosen bilang seperti itu setiap hari. Jadi perempuan memang harus pandai merawat diri. Makanya kalau skincare sama make-upku habis, Mas Heru harus ngasih uang untuk beli. Biar aku selalu tampil cantik.”

“Jangan khawatir. Apa, sih, yang ngga buat kamu.”

Sepanjang perjalanan tanganku tak lepas menggenggam tangan Ida, sesekali aku mencium tangannya yang sangat harum.

“Kita mau sarapan di mana, Mas?” tanya Ida dengan dagu bersandar di pundak. Sekali saja menoleh, wajahku bisa menempel di pipinya.

“Soto ayam dekat perempatan depan. Rasanya enak banget soto di sana.”

“Mass, ada badut.” Tiba-tiba Ida memelukku sangat erat ketika kami berhenti di lampu merah dan melihat badut sedang menari dengan menggoyangkan perutnya yang buncit.

“Kenapa, Da. Iya itu badut.”

“Aku paling takut sama badut, Mas. Dulu waktu kecil sering ditakut-takuti dengan boneka badut. Makanya sampai sekarang rasanya ngeri kalau lihat badut.”

Jadi ternyata Ida takut dengan badut.

“Kamu tenang saja. Kan ada Mas di sini. Lagipula itu di dalamnya orang, Da.”

Saat kami tengah bicara, badut tersebut berjalan semakin dekat ke arah kami. Dia membawa sebuah toples mengarahkan ke setiap pengendara yang berhenti.

Tiba-tiba badut tersebut berdiri persis di depan motor kami, dia menatapku. Tapi anehnya dia tidak menyodorkan toples.

Aku segera mengambil uang di saku jaket agar badutnya segera pergi. Kasihan Ida kalau dia terlalu lama ketakutan.

Aku menyodorkan uang lembaran dua ribu rupiah, tapi badut tersebut tidak menggubris uangku. Dia masih saja menatapku, bahkan sampai lampu sudah berubah hijau, badut itu tetap berdiri di depan motor.

“Tolong minggir, kami mau lewat. Istri saya sudah ketakutan melihat kamu,” terangku sembari membunyikan klakson berkali-kali.

Akhirnya badut itu pun berjalan minggir memberi jalan untuk kami lewat.

“D*s*r badut aneh,” gerutuku kesal.

Bersambung

Cerita ini sudah tamat di KBM App dan GoodNovel dengan judul BADUT DI LAMPU MERAH ITU TERNYATA ISTRIKU

https://read.kbm.id/book/detail/fc770296-1843-4e56-8c25-748297c612e3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *