Hitungan 5 Menit Saja, Kau Tanam Derai Air Mata di Saat Rindu Malam Minggu

Myalen/FX. Mario Meol

 

INDOTIMEX.COM – Kuingat betul surai lurus nan panjang sehitam tinta yang tak berubah. Di sana, kau senantiasa menjadi pemimpin, menuntun kedua tumitku untuk melangkah menelusuri ruangan serba putih yang terasa mencekam. Miris, tatkala kulihat banyak raga berkeliaran dengan aura penuh derita, sementara kita sibuk mencari jalan keluar sambil sesekali bertukar tawa.

Kau selalu di dekatku, tak pernah membuatku tersisih ketika aku sengaja berjalan di belakang figurmu. Bayanganmu yang merambat di dinding terasa nyata, membuatku percaya bahwa kau bukanlah ilusi semata. Rambut kita yang sama-sama tergerai sebatas pinggang, sesekali berkibar pelan kala ditiup sang bayu.

Dalam gedung klasik yang tidak kuketahui apa dan dimana, kita melangkah naik, turun, berpijak awas pada keramik putih pucat, sepucat kenangan kita dulu. Bahkan aku melompati lift tanpa pintu yang sedang melaju naik dengan bantuan uluran tangan darimu. Hanya darimu yang begitu berbaik hati dan tulus memberi pengorbanan.

Antusias bergelora, ketika kita sama-sama mencapai tujuan akhir dari perjalanan melelahkan ini. Sebagai sahabat, aku menepuk bahumu, mengekspresikan rasa bangga terhadap sisi kepemimpinanmu yang bertanggung jawab.

Untuk sesaat kita menjumpai sebuah perpisahan, dengan tangan kanan saling terulus ke atas, melambai ke udara. Kau yang entah berlalu kemana, begitupun aku yang sibuk berkelana.

Aku merasa beralih ke tempat baru dimana semua manusia hanya dinaungi aura wibawa. Hitam dan putih, warna pakaian mereka senada layaknya seorang pegawai kantoran. Tapi aku tidak tahu warna kain macam apa yang tengah melekat di tubuhku kala itu. Pikiranku tak mau acuh, selama aku masih sibuk berkeliling tanpa arah.

Hanya beberapa detik kulampaui disana—sangat sekejap—semua yang kulihat perlahan lenyap, berganti dengan ruangan gelap, diisi puluhan kursi penonton berwarna merah pekat. Mirip seperti pada teater film. Hanya warna lantainya yang masih sama seperti sedia kala. Putih pucat.

Aku memerhatikan seorang diri di sisi ruangan dengan cahaya temaram, dan dalam satu kedipan mata, kudapati semua kursi telah dihuni oleh beragam macam makhluk mengerikan yang rata-rata bentuk fisiknya hancur dan kacau membusuk, menjelma sebagai mayat hidup.

Aku masih berdiri di tempat, bahkan saat mereka serempak menyanyikan lagu rohani yang menggetarkan jiwa, mempertebal hawa mencekam hingga timbul degup tidak tenang dalam dada. Ketegangan itu mengunci seluruh sel untuk bergerak, mengirim sinyal buruk berupa firasat tak menyenangkan yang melintasi benak.

Aku menggulir netra ke sekeliling, dan kutemukan semua makhluk yang semulanya duduk itu kini sudah berdiri, bersorak heboh menyerukan instruksi penyerangan pada sesosok manusia di hadapan mereka.

Dan aku mengenalinya. Aksaku bergetar mengyiratkan betapa terkejutnya aku, saat memusatkan atensi padamu yang tengah berdiri di sana. Kau yang beberapa waktu ke belakang telah menuntun jalan keluar. Sahabatku. Satu-satunya yang kupercaya. Kau tampak terpojok oleh seruan para hadirin yang sangat ingin kau tewas ke dalam jurang kegelapan di belakangmu. Tapi kau hanya membungkam tanpa sepatah kata.

Kau tergugu, menunduk dengan tatapan sendu. Dan detak jantungku berpacu, bersamaan dengan benci yang menyeruak lewat sorot mata, sebab hati yang sungguh tidak mau kau jatuh melepas nyawa.

Tidak sedikitpun mau. Tidak akan pernah.

Kau adalah sahabat yang aku sayangi seperti keluarga. Aku ingin kau bebas dari tuntutan makhluk yang menginginkamu tiada. Di mata mereka, kau bagai manusia berdarah dingin yang harus dibinasakan, sementara mereka sendiri merupakan makhluk hina yang diusir dari surga oleh Tuhan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *