Prof. H. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D (Guru Besar Hukum Tata Negara , Senior Partner Integrity Law Firm , Registered Lawyer di Indonesia dan Australia, Pernah menjadi Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi) (Instagram@dennyindrayana99)
indotimex.com Pagi ini saya Kembali mendapatkan informasi penting soal MK. Kali ini syarat umur menjadi Hakim Konstitusi yang menjadi objek jualan “dagang sapi” di antara politisi di “Republik Konoha”.
Syarat umur sekarang menjadi primadona pintu masuk politicking. Bukan hanya syarat umur capres-cawapres, tapi syarat umur hakim konstitusi pun ikut menjadi tumbal “dagang sapi”.
Baca Juga : Karakter Massa Pemilih di Negara Berkembang dan Peran Pendidikan Politik
Lagi-lagi hukum direndahkan hanya dijadikan alat, untuk strategi pemenangan Pemilu, khususnya Pilpres 2024. Untuk menguasai komposisi hakim minimal 5 (lima) orang, dari total 9 (sembilan) hakim konstitusi; maka kekuatan politik bergerilya mengocok ulang susunan hakim MK. Ingat, penentu akhir pemenang pemilihan presiden adalah Mahkamah Konstitusi, utamanya jika ada sengketa penghitungan suara.
Karena itu, komposisi 5 (lima) hakim MK perlu dikuasai, untuk menjamin kemenangan. Rencananya, awal September nanti, UU Mahkamah Konstitusi kembali diubah.
Bahwasanya perubahan keempat dari UU MK itu sangat politis dan sarat dengan “dagang sapi” kepentingan, tercermin dari fokusnya yang hanya pada satu norma, yaitu terkait syarat umur menjadi hakim MK. Dalam Perubahan Ketiga UU MK Nomor 7 Tahun 2020, syarat umur menjadi hakim MK telah dinaikkan menjadi, “Berusia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun”.