Oleh : Kornelius Yoseph Paga Meka, SH., MH Dosen Fakultas Hukum (FH) Unipa Maumere
Maumere, indotimex.com-Negara dengan menganut system demokrasi sebagaimana yang berlaku di Indonesia ini, rakyat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam kekuasaan. Bahkan dengan demokrasi, maka kekuasaan itu sebenarnya justru berada di tangan rakyat.
Pemilihan umum (Pemilu), fondasi utama demokrasi, harusnya menjadi wadah bagi warga negara untuk secara bebas menyuarakan pilihan politik mereka.
Ada uang ada suara sebab anda jadi anda lupa.” Ungkapan ini mungkin telah mengakar dalam pemahaman masyarakat ketika membahas politik di tanah air.
Sudah menjadi sebuah kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat dimana mereka memilih bukan karena suara hati nurani melainkan karena uang, masyarakat beranggapan bahwa ketika calon wakil rakyat tersebut terpilih maka mereka akan melupakan masyarakat jadi sebelum mereka melupakan masyarakat maka terlebih dahulu masyarakat harus mendapatkan uang dan sebaliknya bilamana wakil rakyat tersebut terpilih karena uang maka masyarakat jangan menanyakan aspirasinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa uang, sebagai alat tukar yang kuat, seringkali digunakan untuk mempengaruhi pemilih atau bahkan calon-calon yang akan terpilih Namun, realitas seringkali menyiratkan bahwa di balik layar, uang memiliki pengaruh besar dalam menentukan hasil pemilihan.
Fenomena ini, yang dikenal sebagai “money politik,” telah menjadi masalah yang meresahkan dalam politik Indonesia.
Perumpamaan saja sebelum pemilihan itu, seseorang pemilih dipengaruhi oleh partai politik, atau seorang calon, dan bahkan diberi berbagai macam kebaikan atau hadiah, maka pada saat memilih, kebaikan atau hadiah itu boleh-boleh saja diabaikan. Sebab aspirasi atau suaranya tidak semestinya diganti dengan barang atau harga apapun. Memilih wakil rakyat seharusnya dijatuhkan kepada seseorang yang benar-benar diyakini bisa dipercaya, memiliki kemampuan, dan amanah.
Memilih orang yang tidak amanah adalah merupakan kesalahan dan beresiko Manakala semua hal itu sudah dijalankan, yakni memilih wakil yang dianggap terbaik, maka tugas sebagai rakyat telah selesai dan benar.
Sebaliknya, manakala pilihan itu hanya atas dasar kebaikan sesaat, pemberian sesuatu misalnya, atau atas dasar transaksi sederhana, maka hubungan pemilih dan yang dipilih hanya berhenti di tempat itu.
Wakil rakyat yang dipilih sudah merasa membayar atau memberi sesuatu, sementara itu sebaliknya, rakyat juga sudah menerima kebaikannya. Maka dengan demikian selesailah ceritanya, demokrasi hanya menjadi sekedar permainan.
Dalam pemilihan umum, rakyat dengan leluasa diberi hak memilih wakilnya yang dinilai jujur, adil, dalam memperjuangkan aspirasinya.
sedang berada di bilik pemilihan itu, para pemilih memiliki kebebasan sepenuhnya. Pada saat di tempat itu, tidak seorang pun yang mampu dan boleh mempengaruhi, kecuali hati nuraninya sendiri. Di luar bilik pemilihan, bisa saja seseorang membujuk, menekan, dan bahkan mengintimidasi, agar memilih partai atau calon tertentu.
Akan tetapi, hal itu tidak mungkin dilakukan tatkala sedang mencoblos. Di tempat-tempat itu, rakyat menentukan pilihannya sebebas-bebasnya.
Semua pihak yang terlibat dalam politik, termasuk pemilih, harus berkomitmen untuk memilih wakil rakyat yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat, bukan yang paling dermawan dalam memberikan uang.