Maumere,indotimex.com– Kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan di Desa Nangahale, Kecamatan Talibura kabupaten Sikka Nusa Tenggara Timur (NTT) oleh mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Universitas Nusa Nipa. Kegiatan ini diwakili Yosefina Daku, SH.,MH dengan mengusung tema Penyelesaian Kasus melalui Lembaga Persekutuan Adat.
Kegiatan ini dihadiri oleh Pemerintah Desa Nangahale, Ketua BPD, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Para Kepada Dusun, Ketua RT, Pengurus Harian Daerah Flotim, dan Infokom AMAN.
Tujuanya membahas mengenai peran lembaga adat yang diprakrasai oleh masyarakat adat. Namun keberadaan lembaga ini harus dilihat dahulu keberadaan masyarakat adatnya. Ibi Societas Ibi Ius Keberadaan masyarakat adat di Kabupaten Sikka harus melalui pengakuan dari Pemerintah Daerah.
Namun sayangnya pengakuan tersebut belum dapat terealisasi. Ranperda tentang masyarakat adat yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Sikka sejak tahun 2018 belum menjadi program legislasi daerah.
Pengakuan terhadap masyarakat adat oleh pemerintah daerah harus dilakukan dengan beberapa tahap yang diatur dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yakni,
- Identifikasi Masyarakat Hukum Adat;
- Verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat; dan
- Penetapan Masyarakat Hukum Adat.
Dengan peraturan menteri ini yang sejalan dengan kondisi masyarakat adat di Kabupaten Sikka, Pemda harusnya responsif melakukan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat melalui Keputusan Kepala Daerah.
Pembentukan lembaga adat yang membantu dalam penyelesaian sengketa pemilikan waris, tanah dan konflik dalam interaksi manusia perlu diperkuat dengan Peraturan Desa yang berpedoman pada Peraturan Bupati/ Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan Permendagri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa Dan Lembaga Adat Desa.
Mekanisme penyelesaian melalui lembaga adat selalu mengedepankan keharmonisan dan kerukunan sosial. Prinsip penyelesaian pada kasus adat mendahulukan perdamaian dan prinsip memberikan rasa aman, tentram dan damai.
Jalan perdamaian sangat diharapkan dari penyelesaian sengketa secara hukum adat yang membutuhkan itikad baik dari para pihak.
Model penyelesaian sengketa dengan metode musyawarah tersebut, membuat peradilan adat lolos dari perangkap putusan yang tidak bisa dijalankan.
Prinsipnya, putusan diambil secara sukarela oleh para pihak. Tidak ada kecurigaan dan prasangka terhadap keputusan yang diambil karena semua prosesnya dilakukan secara terbuka.
Pendekatan hukum adat dalam penyelesaian konflik adat berdasarkan tiga asas yakni; a. Asas kerukunan dimaksudkan untuk mengembalikan keadaan kehidupan seperti keadaan semula, status dan kehormatannya. Asas rukun tidak menekankan menang kalah salah satu pihak, melainkan terwujudnya kembali keseimbangan sehingga para pihak yang bertikai bersatu kembali dalam ikatan desa adat; b) Asas patut adalah pengertian yang menunjuk kepada alam kesusilaan dan akal sehat.
Hal ini patut berisi unsur-unsur yang berasal dari alam susila yaitu nilai-nilai baik atau buruk. Pendekatan asas patut dimaksudkan agar penyelesaian konflik adat dapat menjaga nama baik pihak masing- masing, sehingga tidak ada yang merasa diturunkan atau direndahkan status dan kehormatannya selaku krama desa; c) Asas keselarasan mengandung anjuran untuk memperhatikan kenyataan dan perasaan yang hidup dalam masyarakat, yang telah tertanam menjadi tradisi secara turun temurun.
Penggunaan pendekatan asas keselarasan dilakukan dengan memperhatikan tempat, waktu, dan keadaan sehingga putusan dapat diterima oleh para pihak dalam masyarakat.
Namun penyelesaian melalui lembaga adat memiliki beberapa kelemahan yang membuat beberapa individu/kelompok yang menyerahkan kepada peradilan formal karena merasa tidak puas dengan putusannya.
Adanya kecurigaan bahwa praktek semacam ini disebabkan karena melemahnya kepercayaan diri para fungsionaris adat sehingga berharap pada sistem hukum yang lain, serta penilaian akan adanya kesewenang-wenangan dan kurangnya pengawasan terhadap keputusan dan pelaksanaan sanksi.