Oleh: Gregorius Meol, SH
Praktisi Hukum & CEO PT. PMHG
Suap, Money Politik dan Gratifikasi terjadi begitu masifnya melanda Indonesia disatu sisi oligarkhi politik dominan memainkan peranan dalam pembuatan kebijakan publik, sementara disisi lain sistem pengawasan masyarakat terhadap pertanggungjawaban kekuasaan masih sangat lemah.
Kenyataan memperlihatkan betapa oligarki politik semakin korup karena ditopang oleh praktek-praktek suap, money politik dan gratifikasi para pelaku politisi dan penyelenggara negara, termasuk didalamnya ditopang pula oleh struktur sosial paternalistik dan patriarkhis yang melahirkan ketidakberdayaan rakyat dalam mengontrol pemerintahan sebagai sebuah kelemahan.
Lemahnya rakyat Indonesia dalam melaksanakan fungsi kontrol sangat luas terutama pada usaha reformasi birokrasi pemerintahan.
Problematika suap, money politic dan gratifikasi berkembang subur di birokrasi pemerintahan, termasuk lembaga legislatif yang merupakan perpanjangan tangan suara-suara rakyat. Kekuasaan politik tidak lagi memiliki pilihan prioritas utama dalam membuat perubahan di tubuh birokrasi. Birokrasi justru menjadi mesin keuangan politik bagi kekuatan oligarkhi yang lagi berkuasa.
Kekuatan oligrakhi yang sementara berkuasa, tampaknya sengaja menciptakan dan memelihara kemiskinan rakyat agar rakyat senantiasa tidak punya alternatif lain, selain menggantungkan seluruh hidup dan kehidupannya hanyalah kepada pemegang kekuasaan. Kemiskinan rakyat inilah akhirnya menjadi lahan empuk bagi para politisi dan penguasa untuk leluasa melakukan praktek money politic demi meraih kekuasaan.
Memperhatikan kondisi politik yang berkembang saat ini, sebagian besar masyarakat sudah sarat dengan permainan politik uang (money politic). Permainan baik oleh yang memberi maupun menerima, biasanya terjadi pada saat pemilu Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, bahkan sampai pada pemilihan kepala desa (pilkades). Permainan politik uang dikemas dalam berbagai bentuk, seperti pemberian hadiah, pembagian kupon, tambahan uang lembur, uang transport, sumbangan, pemasangan meteran listrik gratis, subsidi dengan menggunakan uang APBD, bantuan pupuk, dan bahkan dikemas pula dalam acara adat dan budaya serta kegiatan keagamaan.
Karena sudah melekatnya dengan masyarakat seolah-olah tidak ada lagi ruang untuk memberantasnya. Selain money politik, tak kalah berbahaya pula adalah kejahatan Suap dan Gratifikasi. Ketiga jenis kejahatan tersebut merupakan cikal bakal munculnya korupsi atau KKN.
Kata politik itu sendiri mengacu pada segala sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan yang dibuat oleh seseorang untuk mencapai sesuatu maksud atau kepentingan. Karena politik uang cenderung terjadi pada saat – saat pemilu ataupun pilkades maka politik uang itu sama dengan segala tindakan yang disengaja oleh seseorang atau sekelompok orang dengan cara memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu atau tidak menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon tertentu atau dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak – pihak untuk memperoleh sesuatu maksud.
Praktek politik uang ini dipicu oleh faktor tidak adanya komitmen para pejabat, pegawai, kelompok tertentu, dan sebagian masyarakat dalam memegang keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak adanya komitmen pejabat, pegawai atau sebagian masyarakat dalam memegang nilai – nilai moral seperti jujur, berkata benar dan sebagainya. Ada pula keinginan untuk memperoleh jabatan, atau untuk mempertahankan.
Jika praktek politik uang seperti ini dibiarkan berjalan terus, maka dampak yang ditimbulkan adalah Korupsi. Korupsi adalah dampak terbesar dari adanya praktek politik uang, karena ini merupakan salah satu cara para pejabat yang terpilih, untuk mengembalikan biaya – biaya yang timbul pada saat pemilu adalah dengan cara korupsi. Atau dengan kata lain, korupsi dilakukan untuk mengembalikan modal yang telah diinvestasikan ketika melakukan sosialisasi dan kampanye.
Dampak berikutnya adalah merusak tatanan demokrasi dalam konsep demokrasi kita yang kita kenal dengan semboyan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Itu berarti rakyat berhak menentukan pilihannya kepada calon yang dikehendakinya tanpa ada intervensi dari pihak manapun dan dengan cara apapun.
Namun dengan adanya praktek politik uang maka semua itu seolah olah dalam teori belaka. Karena masyarakat terikat oleh seseorang atau sekelompok orang yang memberinya uang. Karena sudah diberi uang atau materi lainnya dari seorang calon, maka masyarakat merasa berhutang budi kepada orang yang memberi uang tersebut. Dan satu-satunya cara untuk membalas jasa tersebut adalah dengan memilih/mencoblos calon tertentu, sehingga motto pemilu yang bebas, jujur dan adil hanya sebuah kata-kata yang terpampang di tepi – tepi jalan tanpa pernah direalisasikan.
Dari kenyataan sebagaimana disebutkan di atas, tidak dipungkiri juga bahwa hukum di Indonesia sangat lemah bagi mereka pelaku korupsi, money politic dan gratifikasi, sedangkan bagi masyarakat lemah, justru penerapan hukumnya sangat tegas. Sudah tak terhitung jumlah banyak koruptor dijatuhi hukuman jauh lebih ringan dari pada seorang pencuri ayam. Oleh karena itu, jika kita hendak memberantas korupsi, money politic dan gratifikasi di negeri ini, maka cara yang sangat efektif diantaranya adalah dengan memberikan hukuman yang berat dan tegas tanpa pandang bulu kepada para koruptor dan pelaku money politic dan gratifikasi, agar mereka yang sudah melakukan kejahatan bisa jera dan bagi mereka yang belum tidak berani melakukan korupsi.
Oleh sebab itu, dukungan dari semua pihak sangat dibutuhkan karena praktek suap, politik uang, gratifikasi dan korupsi sudah merupakan masalah yang sangat besar. Masalahnya menjadi lebih besar karena akarnya telah menjalar keseluruh lapisan masyarakat. Maka untuk memberantasnya diperlukan kerjasama, usaha, dukungan dari semua pihak baik pemerintah, penegak hukum seperti KPK, Polri, Kejaksaan dan masyarakat. Jika salah satu dari komponen tersebut tidak mendukung, maka pemerintahan yang bersih dari politik uang, gratifikasi dan korupsi akan sulit terwujud.
Terhadap realita obyektif sebagaimana telah dipaparkan diatas, maka kesimpulannya adalah, bahwa politik uang bukanlah masalah yang sepele, melainkan masalah yang sangat besar dan dampaknya akan sangat merugikan kita semua untuk mengentaskannya, baik pemerintah pusat maupun daerah serta dukungan dari masyarakat luas.
Sebab semakin diberantas, semakin tumbuh subur suap, korupsi, money politic dan gratifikasi di tanah air kita Indonesia. Ibarat pohon semakin dipangkas rantingnya, maka semakin tumbuh subur pula tunas – tunas baru. Hukum seakan tak lagi berdaya menghadapi oligarkhi politik yang kepentingannya lebih mendominasi pembuatan kebijakan publik. Ini disebabkan karena tiadanya public acoountability sebagai mekanisme pertanggungjawaban kekuasaan dalam mengontrol pengambilan keputusan dan kebijakan politik itu sendiri.
Lahirnya tunas-tunas baru korupsi, money politic dan gratifikasi diberbagai daerah, umumnya berada pada pihak penyelenggara negara, pengusaha dan juga aparat birokrasi pemerintahan. Kondisi ini diperparah lagi dengan makin tumbuhnya Politik Dinasti di mana-mana. Politik Dinasti atau Dinasti Politik telah terbukti berpotensi besar dalam menyumbang kasus-kasus korupsi. Akan tetapi upaya menghadang terjadinya politik dinasti melalui Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 justru dipatahkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi karena dianggap melanggar amanat UUD 1945.
Semestinya yang lebih berkompeten mengawasi agar tidak terjadi korupsi adalah salah satunya para wakil rakyat di parlemen. Namun fakta menunjukan betapa sempitnya ruang partisipasi politik akibat tidak adanya peluang dalam sistem politik yang dapat digunakan untuk meminta pertanggungjawaban wakil – wakil rakyat di parlemen. Hubungan pertalian mandat antara pemilih (konstituen) dengan wakilnya di parlemen terputus karena para wakil rakyat yang dipilih melalui mekanisme pemilu justru lebih mengabdi pada kepentingan partai politik dan kelompok kepentingan yang menjadi cukong politik, dari pada menyuarakan kepentingan rakyat.
Realitas oligarkhi elit politik baik di legislatif maupun eksekutif dan bahkan sampai ke yudikatif kian korup karena ditopang oleh struktur sosial paternalistik dan patriakhis yang kemudian melahirkan ketidakberdayaan rakyat dalam mengontrol jalannya roda pemerintahan. Sebaliknya kesadaran politik rakyat dikontrol oleh tokoh – tokoh yang sebagian besar adalah perpanjangan tangan dari pihak penguasa. Sehingga terjadilah perselingkuhan elit masyarakat dengan penguasa menyebabkan tiadanya peluang bagi rakyat untuk dapat menyuarakan kepentingannya
Di daerah – daerah sepertinya ada upaya untuk tetap memelihara kemiskinan secara terstruktur, agar rakyat tetap hidup bergantung pada kekuasaan sang penguasa. Dan karena ketidakberdayaan mereka inilah, mereka mudah tergoda dan menjadi sasaran empuk bagi para politisi baik di legislatif maupun eksekutif untuk melancarkan serangan fajar berupa money politik pada setiap hajatan Pilkada Gubernur, Bupati, Wali kota dan pemilihan kepala desa (Pilkades) serta gratifikasi pada setiap musim lelang proyek.
Saat ini sudah begitu banyak lembaga, baik yang dibentuk oleh pemerintah seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun lembaga – lembaga non pemerintah agar bisa menghadang terjadinya korupsi di negeri ini. Akan tetapi semakin diungkap, diadili dan dipenjarakan, korupsi malah semakin tumbuh subur. Dari semua lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang telah terbentuk itu, lebih fokus pada upaya pemberantasan korupsi, sedangkan dari sisi pencegahan agar tidak terjadi korupsi di Indonesia tampaknya masih sangat minim. Padahal salah satu kejahatan hukum yang lebih banyak memberi andil dalam lahirnya korupsi adalah tindak money politic dan gratifikasi. Sehubungan belum ada satupun lembaga di Indonesia yang lebih khusus melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap praktek-praktek money politic dan gratifikasi yang makin tumbuh subur.
Korupsi berkembang kian subur di birokrasi terutama yang menjadi ujung tombak pelayanan dasar kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan, air bersih dan listrik. Dengan pelayanan yang buruk, publik harus membayar mahal. Kekuasaan politik tidak memiliki prioritas untuk membuat perubahan di birokrasi dan memperbaiki pelayanan kebutuhan dasar yang menjadi hak rakyat. Birokrasi justru menjadi mesin keuangan politik bagi kekuatan oligarkhi yang berkuasa.
Money Politic dan Gratifkasi kian mencemaskan kita semua setelah implementasi Otonomi Daerah disalah artikan. Arah desentralisasi yang membawa semangat keadilan distributif sumber – sumber negara yang selama 32 tahun dikuasai otoriter oleh pemerintah pusat, kini justru menjadi ajang distribusi korupsi dimana aktor dan areal korupsi kian meluas hingga ke daerah-daerah otonom. Praktek korupsi tidak lagi terorganisir dan terpusat, tetapi sudah terfragmentasi seiring dengan munculnya pusat – pusat kekuasaan baru lewat politik dinasti yang kian marak pula.
Menghadapi kondisi politik dinasty yang sarat suap, money politic, gratifikasi dan korup tersebut, hukum mestinya memberikan jaminan bagi terwujudnya keadilan dan penegakkan aturan, bukan sebaliknya menjadi mandul. Ini terbukti adanya mafia peradilan kian merajalela tak ubah laksana lembaga lelang perkara yang membuat buncit perut aparat penegak hukum busuk. Rasa keadilan digadaikan oleh praktek suap menyuap. Intervensi politik terhadap proses hukum menyebabkan lembaga peradilan hanya menjadi komoditas politik kekuasaan. Tidak ada kasus korupsi yang benar – benar divonis setimpal dengan perbuatan. Dengan kekuasaan uang dan perlindungan politik, koruptor dapat menghirup udara bebas tanpa perlu takut dijerat hukum. Dan sepertinya tidak sedikitpun terlihat ada kemauan politik (political will) dari pemerintah untuk memberantas praktek mega korupsi yang kini merajalela terjadi di daerah – daerah.
Terhadap segala motif money politic dan gratifikasi yang mencuat saat ini, adalah merupakan sebuah mata rantai dan tidak bisa berdiri sendiri. Sebab tak bisa dipungkiri, kekuasaan yang korup sangat dipastikan akan menciptakan politik dinasty di daerah kekuasaannya. Dan untuk mencapai kehausan kekuasaan tersebut, biasanya memanfaatkan kemiskinan rakyat, atau cenderung memelihara kemiskinan rakyat sebagai komoditas urgen dalam melegalkan praktek money politic. Pemerintahan dinasty juga sarat dengan praktek – praktek gratifikasi, terutama dalam hal tender proyek, ada barter proyek dengan fee/komisi antara penyedia barang jasa (kontraktor) dan penguasa.