Hukum  

Menegakan Hukum dengan Hati Nurani

Si pelaku memang mencuri, tapi bukankah dalam hukum pidana, suatu perbuatan pidana tidak bisa hanya dilihat actus reus-nya (perbuatan jahatnya)? Melainkan harus pula terpenuhi mens rea-nya (niat jahatnya)? Apalagi jika melihat Asas Actus Non Facit Reum Nisi Mens Sit Rea, bahwa suatu perbuatan tak dapat menjadikan seseorang bersalah bilamana maksudnya tak bersalah.

Apakah niat membiayai persalinan secara layak agar selamat istri dan anaknya adalah maksud yang jahat? Bukankah hidup dan sehat adalah hak asasi setiap anak manusia bahkan saat masih menjadi janin dalam kandungan ibunya? Bukankah hak hidup dan hak sehat adalah hak asasi yang non derogable right (tidak dapat diganggu gugat)? Ketentuan ini tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 yang telah diratifikasi menjadi menjadi UU no. 36 tahun 1999 tentang HAM (UU HAM). Hak hidup dan mempertahankan kehidupannya serta hak mendapatkan kesehatan bahkan dijamin di dalam UUD 1945, masing-masing tertuang dalam Pasal 28A dan Pasal 28H.

Ini tidak berarti membenarkan perbuatan mencuri, melainkan untuk menegaskan, bahwa penegakan hukum harus pula menggunakan pertimbangan hati nurani. Itulah mengapa motivasi penegakan hukum harusnya bukan mencari kebenaran, melainkan menegakkan keadilan. Di dalam bahasa hukum dikenal istilah restoratif justice. Ini adalah alternatif penegakan hukum untuk memberikan rasa keadilan. Memang harusnya -sebagaimana dijelaskan sebelumnya- penegakan hukum itu bukan mencari mana yang baik dan mana yang benar, melainkan mana yang adil. Yang baik belum tentu benar, yang benar belum tentu adil, tapi yang adil sudah pasti benar dan sudah pasti pula baik.

Restoratif justice menjadi challenge bagi penegak hukum, yakni Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat. Bagi Polisi, telah ada Peraturan Kepolisian (Perpol) No. 8 tahun 2021 yang dapat menjadi dasar hukum dan acuan melakukan restoratif justice. Sementara bagi Jaksa telah ada Peraturan Kejaksaan (Perja) No. 15 Tahun 2020 yang bisa menjadi dasar hukum melakukan restoratif justice, apalagi jaksa memiliki asas oportunitas dalam melaksanakan tugasnya, yang memungkinkannya untuk menuntut atau tidak menuntut suatu delik. Sudah banyak juga Yurisprudensi yang dapat menjadi contoh bagaimana hukum semestinya ditegakkan tanpa mengesampingkan pertimbangan hati nurani.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *