Pada kasus pencurian ini, restoratif justice adalah sebaik-baik langkah hukum yang harusnya diambil oleh pihak terkait yang punya wewenang. Itulah yang diperjuangkan advokat meski harus disebut “membela yang salah”. Perbuatan mencuri memang salah, tapi apakah pelaku harus dikurung bertahun-tahun yang berpotensi membuat anak istrinya terlantar? Apakah negara dapat menjamin kehidupan anak istrinya saat si pelaku dipenjara bertahun-tahun itu? Atau dipaksa membayar denda yang sudah pasti tidak akan sanggup dilaksanakannya. Sekali lagi, si pelaku memang bersalah, aturan hukum sudah pakem soal itu. Tapi hati nurani mengatakan, si pelaku harus dibela dan dibantu. Negara harus bertanggungjawab dan hadir memberikan rasa adil. Bahkan harusnya negara malu, jika ada seorang fakir miskin terpaksa mencuri untuk membiayai persalinan yang layak agar Istri dan anaknya selamat dan sehat. Ingat, UUD 1945 Pasal 34 ayat (1) mengamanatkan agar negara wajib memelihara fakir miskin. Hak hidup dan hak sehat sebagai Hak Asasi Manusia bukankah wajib dijamin dan dilindungi negara? Ketentuan ini adalah amanat yang tertulis terang benderang dalam UU No. 36 tahun 1999 tentang HAM.
Bahkan, bukan cuma negara (dalam hal ini pemerintah sebagai pelaksana UU dan pembuat kebijakan publik) yang bersalah, melainkan semua orang yang membiarkan seorang bapak fakir miskin yang tidak tahu lagi jalan apa yang bisa ditempuhnya selain mencuri untuk membiayai persalinan Istrinya. Dalam agama diajarkan, membiarkan tetangga kelaparan sementara dirinya kenyang semalaman, padahal dia tahu tetangganya kelaparan, maka dia tidak dianggap beriman kepada Allah (HR. At-Tabrani). Apalagi membiarkan seorang perempuan berjuang hidup dan mati untuk mempertahankan sendiri hidup bayinya dan dirinya. Ditambah lagi dengan menghukum seorang bapak fakir miskin yang atas kesalahannya telah menyelamatkan nyawa istri dan anaknya.
Lawyer Indonesia