Fhe Naiboas/Mutiara Sonbay
INDOTIMEX.COM – Ketua Aliansi Rakyat Anti Korupsi (ARAKSI) NTT Alfred Baun, SH. Mengatakan persoalan penyelesaian hak masyarakat Kecamatan Polen dan Oenino yang terdampak pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Bendungan Raksasa Temef. Diduga kuat adanya mafia tanah dan indikasi korupsi. Hal ini disampaikan oleh Ketua Araksi NTT lewat telepon selulernya. Sabtu 18 Mei 2024
Dikatakannya, kita melihat sendiri bahwa masyarakat sudah dengan ikhlas, hati yang tulus memberikan tanahnya kepada Negara untuk pembangunan.
Namun, kemudian ada tangan – tangan nakal yang masuk, lalu kemudian hak masyarakat di rampas secara perlahan-lahan. Melihat hal yang janggal ini masyarakatpun tergerak hati untuk bersuara melalui demostrasi baru mendapatkan hak nya. Ini merupakan sesuatu hal yang sangat keliru dan harus dipertanyakan oleh masyarakat.
Mega proyek yang menelan anggara APBN senilai 2,3 Trilliun. Secara keseluruhan sudah membiayai pembangunan bendungan raksasa Temef. Termasuk didalamnya biaya ganti rugi pembebasan lahan tanah milik rakyat yang terdampak langsung.
Berdasarkan kesepakatan awal area 245 merupakan keseluruhan yang disepakati awal oleh pemerintah untuk diselesaikan dengan pembayaran lunas. Didalam pertengahan, baru ada klaim-mengklaim bahwa area 174 masuk kawasan kehutanan, dimana bukti administrasi aktualnya, harus diperjelaskan secara lengkap
Araksi NTT menduga kuat, indikasi korupsi pada persoalan ganti rugi lahan ada di PRKP. Sebab sesuai kesepakatan awal, total kawasan 245 akan diselesaikan pada tahap 5. Lalu PRKP dan Kehutanan, kembali mengklaim bahwa area 174 masuk kawasan Kehutanan. Tanda tanya besar, hasil kesepakatan awal kenapa tidak jelaskan? Kok baru sekarang terkesan mengada-ngada? Araksi bersama masyarakat serius meminta pembuktian data secara administrasi.
Dikatakannya saya minta hasil kesepakatan sosialisasi awal. Kita buka-bukaan untuk mengurai benang kusut ini ada dimana, tetapi mereka (Dinas PRKP), Pertanahan dan Kehutanan) tidak berani membuka data terhadap hasil sosialisasi awal.ucap Ketua Araksi NTT
Perlu kita ketahui bersama, data yang dilaporkan ke Bapak Presiden, melalui Balai Kawasan Sungai (BKS) dan Kementerian PRKP adalah pembayaran dihitung per meter, bukan perhitungan dihitung berdasarkan rumah tangga. Anehnya hitungan pembayaran yang dipakai sekarang adalah pembayaran per kepala rumah tangga, bukannya kesepakatan awal yang dipakai adalah pembayaran per meter?
“Kesepakatan awal, perhitungan pembayaran per – meter, sehingga nilai permeter dibayar dengan harga 60.000, itu untuk lahan kering. Sementara lahan basah dibayar dengan harga 75.000. Nah Ini yang kita minta mereka (PUPR, Pertanahan dan Kehutanan) buka data sosialisasi awal, tapi kelihatannya tidak berani membuka ini ke publik. Ada apa ini? Yah kita menduga sangat kuat adanya indikasi korupsi terhadap hak rakyat”.
Masalah klaim area 147 menjadi kawasan kehutanan, Araksi menduga adanya tindak pidana korupsi dan mafia tanah yang terstruktur sistematis dan masif. Pasalnya, sosialisasi awal bahkan pembayaran ganti rugi dan kompensasi pada tahap 1, tahap 2 dan tahap 3 yang sudah dilakukan Pemerintah, Kehutanan tidak pernah hadir untuk komplain. Namun dipertengahan baru Kehutanan klaim kawasan tersebut sebagai milik. Pertanyaannya, kehutanan berada di posisi mana, sehingga tidak mengetahui proses yang dilakukan oleh PUPR?
“Tahap awal Pembayaran tahap 1. Tahap 2 tahap 3, kehutanan belum klaim. Namun ketika pembayaran tahap 4 kehutanan muncul. Ada apa ini?” Kalau kita bicara terkait tanah ulayat. Bahwa Presiden telah mengembalikan tanah ulayat kepada kepala suku. Dan bukan dikelola lagi oleh kehutanan dan itu sangat jelas”. Ucap Ketua Araksi
“Namun hari ini kehutanan mengklaim tanah ini masuk kawasan kehutanan kan lucu sekali, sementara tanah itu adalah milik rakyat. Jangan karena ada uang disitu, lalu kehutanan masuk disitu. Maka itu saya minta, agar kehutanan membawakan administrasi ketika hari selasa turun ke lapangan untuk melibat batas-batas”.
Lanjut Ketua Araksi, Administrasi yang saya minta adalah peta Kehutanan itu harus dibuka. Bahwa pada titik ini, kehutanan menguasai lahan tersebut tahun berapa? Maka Kehutanan dan Pertanahan juga wajib menunjukan batas-batasnya. Sedangkan jaraknya kehutanan saja jauhnya 1 kilo meter dari lokasi area lahan milik warga terdampak.
Sehingga saya minta kepada Kehutanan, Pertanahan turun ke lokasi, dengan membawa serta data adminstrasi, dan peta agar kita buka kembali sesuai sosialisasi awal.
Dari 245 lahan, baru 71 pemilik yang sah. Sementara 174 lahan menurut PUPR itu milik kehutanan, disini saya tantang PUPR, Pertanahan dan Kehutanan Kita buka data administrasi.
“Klaim kehutanan terkait kepemilikan atas 174 lahan justru Pertanahan dan Kehutanan, tapi kok tidak menjelaskan maka dari itu kami meminta kepada Aparat Penegak Hukum (APH) Kepolisian, Kejaksaan, KPK untuk turut mengawal persoalan ini, demi hak masyarakat dan keadilan. Tutupnya.