Analisa Hukum Oleh:
Rito Naga, Jessy More Seka, Vivi
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NUSA NIPA INDONESIA
Kontestasi Pemilu 2024 mendatang merupakan suatu hal yang menarik untuk dibahas karena sudut pandang masyarakat mengenai representasi keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota DPR dan DPRD di Indonesia. Perhatian negara terhadap peran politik perempuan melahirkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (selanjutnya disebut UU Pemilu) yang mengatur ketentuan 30% keterwakilan perempuan. Regulasi ini setidaknya menjadi acuan bagi partai politik peserta pemilu untuk melibatkan perempuan dalam tahapan pencalonan anggota legislatif. Konteks keterwakilan perempuan dalam pemilu diharapkan dapat meningkatkan partisipasi pengambilan keputusan yang lebih memperhatikan hak-hak perempuan.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) Pasal 28D ayat (3) menyebutkan “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”, dari ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa hak konstitusional perempuan dan laki-laki sama tanpa ada pengkhususan terhadap gender tertentu. Perihal ini berarti tanpa perhatian khusus pun, hak politik perempuan sudah melekat pada diri perempuan itu sendiri. Keterwakilan perempuan dalam pemilu seharusnya mempunyai hak politik yang sama dengan laki-laki seperti yang diamanatkan pada Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM) Pasal 43 ayat (1) memuat ketentuan bahwa “ Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dari ketentuan pasal tersebut dipahami bahwa hak memilih dan dipilih melekat pada seluruh warga negara tanpa membedakan gender.
Pada fase selanjutnya regulasi mengenai 30% keterwakilan perempuan ini justru menjadi tidak efektif ketika hanya terjadi pada proses pencalonan. Representasi perempuan dalam pemilu dapat dinilai berhasil ketika perempuan turut serta dalam proses pengambilan keputusan di parlemen. Pada dasarnya hak politik perempuan sudah diamanatkan setara dengan hak politik laki-laki. Perlakuan khusus negara yang dikemas dalam regulasi kuota 30% keterwakilan perempuan ini faktanya tidak mendorong tercapainya persamaan dan keadilan perempuan dalam politik. Dari latar belakang yang digambarkan di atas kami akan menjelaskan “Politisi Perempuan dan Kontroversi Kesetaraan Gender”.
Respon (1)