Hukum  

Karyawan Bank NTT Cabang Kefamenanu Diduga Menjadi Beking Kades Fafinesu B Ancam Wartawan, Buntut Persoalan Dana BLT.

Ket. Ilustrasi Intimidasi (Ist)

Roland Tahoni 

 

INDOTIMEX.COM- Kasus dugaan pemotongan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa oleh Kepala Desa Fafinesu B, Agustinus Naibesi, bersama Bendahara Desa, semakin menjadi perhatian publik. Tindakan ini tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga memunculkan intimidasi terhadap wartawan yang mencoba menggali kebenaran.

Wartawan yang melaporkan dugaan penyimpangan ini mengaku mendapat ancaman dari seseorang bernama Toni Naibesi, yang diduga mendukung Kepala Desa. Dalam percakapan melalui telepon, Toni mempertanyakan kapasitas wartawan untuk meminta klarifikasi, bahkan mengancam akan melaporkan mereka ke Aparat Penegak Hukum (APH).

“Toni menanyakan apakah saya inspektorat atau lembaga lain yang berwenang untuk meminta keterangan kepada Kepala Desa. Padahal, sebagai jurnalis, kami memiliki hak untuk menggali informasi sesuai dengan UU Pers,” ujar wartawan tersebut.

Pada Jumat, 27 Desember 2024, Kepala Desa Agustinus Naibesi secara terbuka mengakui bahwa dirinya bersama Bendahara Desa telah memotong BLT sebelum dana tersebut disalurkan kepada masyarakat penerima. Namun, belakangan Kepala Desa diduga memberikan keterangan berbeda, berupaya menghindari wartawan, dan belum memberikan klarifikasi lebih lanjut.

Tindakan ini melanggar aturan yang jelas melarang pemotongan BLT. BLT adalah amanah negara yang disalurkan melalui Dana Desa untuk membantu masyarakat miskin memenuhi kebutuhan dasar mereka. Program ini juga bertujuan mencegah penurunan kesejahteraan akibat kesulitan ekonomi, terutama di masa pasca-pandemi.

Menurut undang-undang, pemotongan BLT termasuk pelanggaran berat dan dapat dijerat Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut melarang penyalahgunaan wewenang yang merugikan masyarakat.

Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Dionisius Mau, mengecam keras tindakan tersebut. Ia menyebut pemotongan BLT dan mekanisme pembagiannya mencederai prinsip transparansi dan supremasi hukum dalam tata kelola pemerintahan.

“Mekanisme pembayaran BLT ini sangat mencederai prinsip keterbukaan. Pembagian dilakukan tidak serentak di kantor desa, tetapi di rumah Bendahara Desa, yang sama sekali tidak sesuai prosedur,” tegas Dionisius.

Bendahara Desa yang turut terlibat hingga saat ini belum memberikan tanggapan atas permintaan klarifikasi. Pesan-pesan yang dikirimkan wartawan melalui WhatsApp juga belum direspons.

Dalam upaya mengungkap dugaan pelanggaran ini, wartawan menghadapi tantangan serius. Ancaman dan intimidasi yang diterima wartawan menunjukkan adanya upaya untuk menutupi kasus ini. Namun, sebagai pilar keempat demokrasi, jurnalis memiliki hak untuk menyampaikan informasi kepada publik sesuai UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.

“Ancaman ini tidak akan menyurutkan semangat kami untuk terus mengungkap fakta. Masyarakat berhak mengetahui bagaimana dana yang menjadi hak mereka dikelola,” ujar salah satu wartawan yang meliput kasus ini.

Kasus ini telah mencoreng kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan Dana Desa. Diharapkan Aparat Penegak Hukum (APH) segera bertindak tegas, memeriksa dugaan pemotongan BLT, dan memberikan sanksi kepada pihak yang terbukti bersalah.

Tindakan ini penting untuk memastikan bahwa Dana Desa dikelola dengan transparansi dan akuntabilitas, sesuai tujuan awal program untuk membantu masyarakat miskin dan meningkatkan ketahanan ekonomi mereka.***

Baca Juga :   Buntut Oknum Jaksa Dilaporkan Ombudsman RI , Araksi Tantang Kejari TTU Tunjukan Surat Sakti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *