Oleh: Marianus Gaharpung, Dosen Fakultas Hukum Ubaya Surabaya
Rakyat Indonesia sebagai pemilik kedaulatan bernegara melakukan hajatan demokrasi untuk memilih orang nomor 1 dan 2 memimpin Indonesia Raya 2024 sampai 2029.
Dan, memilih para wakil rakyat, duduk di DPR RI, DPD, DPR Provinsi, DPR Kabupaten serta Kota yang kewenangannya mengontrol kerja pemerintah agar sesuai Konstitusi UUD NKRI yakni kesejahteraan rakyat.
Semua proses tahapan pilpres dan pemilu sudah selesai dilaksanakan. Sekarang masuk masa tenang selama 3 (tiga) hari bagi warga untuk memikirkan memutus serta memilih capres cawapres yang layak memimpin rakyat Indonesia.
Kenangan pahit proses pencapresan 2024 sangat membekas dan terus menjadi “referensi” hitam bagi demokrasi Indonesia.
” Karena baru kali ini dalam sejarah demokrasi Indonesia, Joko Widodo sebagai presiden menyodorkan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres bersama Prabowo Subianto sebagai capres dengan menabrak konstitusi dan etika publik. Pertanyaannya apakah Gibran tidak berhak sebagai warga negara dicalonkan sebagai cawapres dalam kontestasi Pilres?
Jawaban, tidak salah dan berhak Gibran cawapres, asalkan melalui mekanisme hukum dan etika yang benar. Joko Widodo harusnya sebagai garda terdepan menjaga demokrasi dalam proses pencalonan capres cawapres justru diduga menjadi “predator” demokrasi.
Dugaan rekayasa demokrasi demi menggolkan putranya, berawal dari pemasungan hak politik Ketua Umum Golkar, Ketua Umum PAN, beberapa oknum menteri, gubernur dan wakil gubernur Jatim suka tidak suka harus mendukung Gibran atau berhadapan KPK atas dugaan korupsi.
Ada pula rekayasa Putusan MK No. 90 demi meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres. Hal ini terbukti dengan sanksi etika berat kepada paman Anwar Usman diberhentikan sebagai Ketua MK.
Dugaan cawe -cawe Joko Widodo terus berlanjut dimana pengurus Pusat KPU membenarkan putusan MK No. 90 terbukti dengan menerima pendaftaran pencalonan Gibran sebagai cawapres menggunakan peraturan KPU yang lama sebelum adanya putusan MK No. 90. Padahal sesuai prinsip penormaan bahwa putusan MK No. 90 tersebut wajib dibahas DPR bersama pemerintah untuk dapat dilalukan perubahan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu melalui UU atau Peraturan pemerintah pengganti undang undang mengingat situasi dan jangka waktu pilpres yang sudah singkat. Semua ini dilangkahi pengurus KPU demi Gibran.
Sehingga pertanyaan publik jika Gibran bukan anaknya Jokowi tidak mungkin pengurus KPU menerima pendaftaran cawapres. Sehingga atas tindakan hukum dan faktual KPU yang ngawur tersebut, maka Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberikan sanksi kepada ketua KPU Pusat dengan sanksi teguran keras terakhir.
Belum puas sampai disitu dugaan cawe- cawe Jokowi sebagai bentuk bapa sayang anak, mantan Gubernur DKI ini membuat ulah yang sungguh menyakiti nurani publik dengan mengatakan Presiden wakil presiden menteri dan pejabat publik berhak melakukan kampanye. Tetapi beberapa hari kemudian beliau beri pernyataan walaupun presiden mempunyai hak kampanye tetapi tidak akan berkampanye.
Upaya terselubung untuk meraup suara pasangan no. 2 yakni menggelontorkan 400 triliunan lebih untuk proyek bansos kepada rakyat. Publik sudah paham proyek bansos ini untuk rakyat atau pemberi bansos.
“Rakyat sorak sorai belum tentu memilih paslon tertentu. Rakyat bukan robot yang mudah diplokoto. Rakyat cerdas sudah menduga bansos ini kampanye selubung Joko Widodo untuk anaknya Gibran.
“Semua perilaku Jokowi membuat publik yang berpikiran waras marah datang dari kalangan akademisi toko agama kaum intelektual serta para politisi meminta agar Jokowi sadar dan kembali menjaga demokrasi hukum dan etika dalam pipres ini. Karena dugaan publik kecurangan pemilu 2024 sudah didesain sejak lama.
Publik bisa melihat pemilu 2024 lahir dari proses yang sungsang, cacat etik dan moral. Jangan biarkan orang orang yang duduk di puncak kuasa melalui suatu proses demokrasi yang cacat hukum dan etik. Jangan biarkan oknum oknum maling besar jadi pemenang pada Rabu 14 Pebruari. Negara ini akan hancur jika kecurangan dibelahin dan diperjuangkan.
Oleh karena itu, jika anda sekalian sadar bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, maka hargai suaramu dengan memilih capres cawapres yang lahir dari proses hukum dan etika yang benar, bukan sebaliknya. Suara hati anda jangan diperjualbelikan. Selamat memilih!