Opini  

Pengamat Hukum Universitas Surabaya: Seruan Kampus dan Selamatkan Demokrasi Indonesia

Ilustrasi/ Protes sejumlah Civitas Akademik dari Kampus dan Universitas di Indonesia atas pernyataan dan interpretasi UU Pemilu Nomor 17 Tahun 2017 yang dinilai Niretik
Oleh : Marianus Gaharpung/ Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabay/UBAYA

Proses demokrasi pemilihan presiden dan wakil presiden 2024, diduga paling buruk di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan sama sekali tidak menunjukkan seorang negarawan sejati yang wajib berdiri di atas etika publik dan hukum.

Etika publik dalam hal ini adalah Konstitusi UUD NKRI serta berbagai peraturan ditabrak dengan berbagai argumentasi pembenaran demi mendukung paslon capres cawapres nomor urut 2.

Etika publik dalam diri seorang pejabat publik dalam menjalankan demokrasi melalui tutur kata dan perbuatannya diduga tidak ada lagi dalam diri presiden ke- 7 ini.

Menjelang hari “H” 14 Pebruari, tutur kata, Joko Widodo mencla mencle, membuat kegaduhan warga tanah air. Misalnya, memberikan statemen dihadapan para penjabat gubernur, bupati dan walikota bahwa pejabat publik harus memegang prinsip netralitas tidak lama kemudian berselang tiga minggu hari pencoblosan pilres buat lagi pernyataan bahwa pejabat publik presiden wakil presiden termasuk menteri dan lain lain boleh berkampanye dan memihak kepada calon tertentu berdasarkan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Ketika timbul reaksi publik luar biasa menentang pernyataan presiden ke 7 yang diduga asbun, diubah dengan strategi kampanye “terselubung” penggelontorkan dana bansos.

Ilustrasi/ Protes sejumlah Civitas Akademik dari Kampus dan Universitas di Indonesia atas pernyataan dan interpretasi UU Pemilu Nomor 17 Tahun 2017 yang dinilai Niretik

Pembagian bantuan langsung tunai kepada rakyat oleh presiden adalah sesuatu yang aneh menjelang pilpres. Publik sungguh menduga demi pemenangan paslon nomor 02. Bagi- bagi bansos di depan Istana Negara, tindakan yang merendahkan martabat dan kredibilitas Joko Widodo sebagai orang nomor 1 di republik ini.

Sampai Wakil Presiden ke 10 Jusuf Kalla ngregetan, kritik terhadap mantan walikota Solo ini, adalah tindakan yang memalukan.

Sangat memalukan kemiskinan rakyat dipertontonkan kepada dunia. Ada juga mengatakan bagi- bagi bansos adalah kerja seorarang camat bukan presiden. Dugaan publik Joko Widodo sudah “abscuur” etika publik dalam berdemokrasi demi memenangkan anaknya Gibran Rakabuming Raka merebut kursi wakil presiden berpasangan dengan Prabowo Subianto.

Para pejabat publik, menteri, Gubernur Wakil Gubernur yang tergabung di paslon nomor 2, etika publik, nalar serta logika hukumnya dibuat kerdil terbukti dari statemen dan tingkah laku mereka.

Ketua Umum Golkar, Eirlanggar Hartarto, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Menteri BUMN, Erick Thohir, Gubernur Jatim, Khoffifah Indar Parawansa, Wagub Jatim, Emil E. Dardak

dan masih banyak oknum pejabat, semuanya terpasung hak politiknya wajib dukung paslon nomor 2 atau dugaan korupsinya diproses hukum.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah jauh menyimpang dari demokrasi dengan memyimpangi konstitusi serta perundang- undangan lainnya.

Hal ini membuat civitas akademika perguruan, UGM, UI, Padjadjaran Bandung, UII, Unibraw Malang dan lain- lain melakukan petisi kritik Pemerintahan Joko Widodo. Tindakan-tindakan menyimpang yang dimaksud sebagaimana dalam petisi itu di antaranya pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, keterlibatan sejumlah aparat penegak hukum dalam proses demokrasi, serta pernyataan Jokowi tentang presiden dan menteri boleh kampanye Pemilu 2024. Seruan kampus terus bergema untuk selamatkan demokrasi.

Seruan yang berisi peringatan kepada para penguasa agar jaga martabat di depan publik dengan perilaku yang mengepankan etika publik menuju yang pemilu damai.

Seruan Kampus

Seruan Kampus, menyelamatkan demokrasi terus digaungkan oleh kalangan sivitas akademika dan masyarakat sipil di sejumlah daerah. Dugaan penyalahgunaan kekuasaan hingga pelanggaran etika publik dalam kontestasi politik di Pemilu 2024 dinilai sudah cukup menunjukkan menurunnya kualitas berdemokrasi.

Publik Menilai

Publik menilai,Presiden Joko Widodo dan pejabat publik lainnya, krisis pemimpinan
”Hukum yang seharusnya jadi bintang pemandu justru digunakan untuk menjustifikasi dan melegitimasi proses-proses kebijakan politik, ekonomi, sosial, dan kebijakan lainnya yang bermasalah.

Publik menilai, hal ini karena adanya krisis kepemimpinan yang tidak beretika dan bermartabat.
Civitas akademika sungguh prihatin melihat “penyakit” subjektifitas pejabat publik yang ambisius hanya dengan keyword untuk mendulang pasangan capres cawapres yang dipilihnya dengan menanbrak cara berdemokrasi yang beretika. Oleh karena itu, praktek dinasti politik yang sedang dipertontonkan saat ini wajib diimbangi dengan upaya meningkatkan partisipasi warga dalam proses demokrasi.

Profisiat civitas akademika tanah air bersama kekuatan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, dengan seruan kampus ini mampu memberikan rasa tobat etika dan moral, kepada pejabat publik kembali kepada jalan yang bener melakukan perbaikan yang mendasar dan menyeluruh di semua lini kehidupan berdemokrasi agar pesta demokrasi 14 Pebruari 2024 diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil serta damai bahagia di hati rakyat sebagai pemangku kedaulatan.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *