Jika modal ekonomi yang menjadi faktor munculnya kelas politik pengusaha pada Pilgub kali ini, maka di sisi lain ada jenis modal berbeda yang turut menjadi faktor munculnya kelas politik TNI/Polri. OLEH: SALOMO ZAKHARIA TUNGGA, S.I.P
INDOTIMEX.COM- Pemilihan Kepala Daerah 2024 direncanakan akan diselenggarakan secara serentak pada tanggal 27 November 2024 mendatang. Pada Pemilihan Gubernur NTT sendiri, telah ada tiga paket pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang dideklarasikan oleh partai-partai politik. Paket pasangan Yohanis Fransiskus Lema dan Jane Natalia Suryanto (Ansy-Jane), paket Siaga – pasangan Simon Petrus Kamlasi dan Adrianus Garu serta pasangan Melki Laka Lena dan Johni Asadoma. Ada hal yang menarik dari ketiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang telah ditetapkan tersebut, yaitu berkenan dengan konstelasi aktor yang maju memperebutkan kursi gubernur dan wakil gubernur. Susunan aktor pada Pilgub kali ini memperlihatkan variasi kelas-kelas politik yang ada di NTT.
Jika melihat pada periode-periode sebelumnya, kelas-kelas politik yang membentuk pasangan calon gubernur dan wakil gubernur selalu tersusun dari birokrat dan politisi. Misalnya saja pada Pilgub 2018 lalu, di mana keempat pasangan berasal dari latar belakang birokrat dan politisi. Contohnya seperti pasangan Esthon Foenay-Christian Rotok dan juga Benny A. Litelnoni yang berkarier di birokrasi. Selain itu, Emelia J. Nomleni, Benny K. Harman dan Josef Nae Soi yang pernah berkarier di bidang legislatif. Walaupun ada beberapa kelas politik yang dahulu berlatar pengusaha (kapital) sepert Viktor B. Laiskodat dan Marianus Sae, namun pada akhirnya keduanya memiliki pengalaman sebagai anggota DPR RI dan Bupati. Corak konstelasi aktor yang sama juga terlihat pada Pilgub NTT tahun 2013 dan tahun 2008.
Kini, terdapat variasi baru, yaitu kelas politik murni pengusaha (kapital), serta kelas politik mantan TNI/Polri yang menjadi elemen baru pengaturan pasangan kepala daerah, sejak sekian lama konstelasi calon gubernur dan wakil gubernur NTT diisi oleh birokrat dan politisi. Kelas politik kapital yang dimaksud adalah Jane Natalia Suryanto yang berlatar belakang pengusaha, selain itu kelas politik TNI/Polri yang dimaksud adalah Simon Petrus Kamlasi (TNI) dan Johni Asadoma (Polri).
Merujuk pada Vel (2008), kelas politik adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang memiliki akses kepada sumber daya negara, baik secara formal dari gaji dan komisi mereka ataupun secara informal seperti dari korupsi, proyek dan rente.
Kelas politik juga mencakup orang-orang yang tidak mempunyai jabatan formal namun memiliki kapasitas untuk memanfaatkan sumber daya negara, termasuk pengusaha, pensiunan pejabat, dan istri, ibu, saudara serta anak dari orang-orang yang memegang posisi kunci dalam sebuah jaringan politik. Di sisi lain, Oborne (2007) juga menjelaskan kelas politik sebagai kelompok masyarakat yang memiliki basis ekonomi yang bergantung pada negara. Oborne melihat hal tersebut di Inggris, di mana para ruling class memanfaatkan finansial serta hak-hak istimewa lainnya lalu berkolaborasi satu sama lain, bahkan lintas partai politik, agar dapat mengakses sumber daya negara.
Tulisan ini melihat kelas-kelas politik dalam konteks Pilgub NTT 2024 sebagai mereka yang bukan hanya memiliki latar belakang birokrat dan politisi, tetapi juga mereka yang memiliki latar belakang pengusaha dan TNI/Polri. Ketiga kelas politik yang terakhir tersebut juga memiliki ciri yang sama dengan kelas politik birokrat dan politisi, yaitu sama-sama memilki akses kepada sumber daya negara, baik melalui jaringan aktor maupun melalui jabatan yang pernah mereka pegang. Salah satu ciri lainnya yang menjadi paling utama serta sama-sama dimiliki oleh masing-masing kelas politik ialah basis massa, yakni arena di mana para aktor kelas politik dapat menciptakan relasi kuasa dan memobilisasi dukungan politik.
Tulisan ini berpendapat bahwa munculnya variasi kelas politik ini dipengaruhi oleh konteks ekonomi NTT. Mengadopsi argumen dari Berenschot (2018) bahwa diversifikasi ekonomi lokal yang rendah, tingkat kemiskinan yang tinggi, jumlah kelas menengah yang sedikit serta urbanisasi yang terbatas tidak hanya dapat memengaruhi praktek klientelisme, tetapi juga memengaruhi kemunculan praktik munculnya variasi kelas politik di NTT.
Tulisan ini berargumen bahwa tingkat diversifikasi ekonomi di NTT yang rendah serta ketergantungan pada sumber daya negara membuat kelas-kelas politik “tumbuh subur” dengan segala macam variasinya. Apa itu diversifikasi ekonomi? Sederhananya diversifikasi ekonomi adalah keberagaman sumber ekonomi yang ada di suatu daerah. Artinya, ekonomi berputar di macam-macam sektor dan oleh macam-macam aktor. Banyaknya aktor kapital di suatu daerah dapat menjadi indikator bahwa daerah tersebut memiliki tingkat diversifikasi ekonomi yang tingg.
Hal ini berbeda dengan NTT, di mana oleh sebab minimnya industrialisasi membuat perekonomian NTT sangat bergantung pada sumber daya negara. Transfer APBN ke Pemerintah Provinsi serta Pemerintah Kabupaten/Kota menjadi penggerak utama perekonomian di NTT. Hal tersebut juga mengakibatkan perputaran kapital terpusat pada birokrasi.
Aktor-aktor ekonomi juga terbatas, di mana yang menjadi aktor utamanya adalah birokrat, politisi atau pengusaha yang memiliki jaringan dengan elit-elit politik yang memiliki akses pada sumber daya negara. Konsentrasi kapital pada negara inilah yang menjadi “ladang subur” munculnya berbagai variasi kelas politik. Melalui Pilkada dan Pemilu, aktor-aktor memperebutkan akses kepada sumber daya negara yang tak terbatas itu. Hal ini senada dengan temuan Rohi & Kurniawan (2022) yang menyatakan bahwa kelas-kelas politik menggunakan strategi klientelisme untuk mendapatkan akses pada sumber daya negara.
Untuk kasus kelas politik berlatar belakang kapital, tulisan ini melihat ada alur khas bagaimana mereka dapat muncul di kancah perpolitikan NTT. Pertama, asal-usul pengusaha-pemgusaha yang berasal dari luar NTT dapat dijelaskan dengan mengadopsi argumen Tidey (2012) tentang masuknya kelas sosial yang bergantung pada sumber daya negara di NTT. Tidey menjelaskan bahwa di NTT terjadi de-agrarianisasi sehingga meningkatnya migran-migran dengan warna kelas sosial baru di pusat-pusat permukiman seperti di Kota Kupang.
Kelas-kelas sosial tersebut mencari peruntungan dengan memanfaatkan kondisi ekonomi daerah NTT yang bergantung pada negara. Salah satunya adalah dengan menjadi birokrat-birokrat di lingkungan pemerintahan provinsi atau kabupaten/kota. Hal ini juga dapat berlaku pada kelas sosial yang berlatar belakang pengusaha. Dengan memanfaatkan sumber daya yang sama, mereka mencoba untuk menginfiltrasi pemerintahan, baik dengan memanfaatkan jaringan relasi kuasa atau dengan langsung berkontestasi menjadi aktor birokrat/politisi, agar dapat mengamankan sumber daya negara yang tak terbatas tersebut.
Selain kedua cara itu, pengusaha juga dapat mengamankan sumber daya negara dengan cara menjadi sponsor partai politik. Hal ini seperti yang disampaikan Mietzner dalam wawancaranya bersama Abraham Samad, di mana aktor-aktor yang memiliki kapital (modal) akan mendanai pembiayaan politik yang mahal dari parpol, dan sebagai gantinya parpol akan membayar kembali, baik dalam bentuk uang, proyek, regulasi ataupun delegasi jabatan.
Jika modal ekonomi yang menjadi faktor munculnya kelas politik pengusaha pada Pilgub kali ini, maka di sisi lain ada jenis modal berbeda yang turut menjadi faktor munculnya kelas politik TNI/Polri. Modal tersebut adalah modal identitas dan modal popularitas. Tulisan ini melihat bahwa baik Johni Asadoma maupun Simon Petrus Kamlasi sama-sama memanfaatkan modal identitas, yakni daerah asal mereka masing-masing, dalam kampanye-kampanye. Untuk menjelaskan modal identitas, tulisan ini merujuk pada argumen Nordholt ( dalam Roen, 2023) bahwa seringkali dalam kontestasi Pilkada, frasa “putra daerah” serta “orang apa dan orang mana” menjadi kosakata yang sering muncul.
Hal ini juga terlihat pada strategi kampanye Johni Asadoma dan Simon Putra Kamlasi. Johni Asadoma misalnya, telah terlihat modal identitasnya ketika menjadi Kapolda NTT tahun 2022. Pada saat itu, terpasang baliho-baliho sepanjang beberapa jalan di Kota Kupang yang berisi dukungan dan pujian kepada Johni Asadoma sebagai “putera daerah” yang ditunjuk sebagai Kapolda NTT. Modal identitas ini terus ketika ia menjadi calon wagub, di mana ia banyak melakukan kampanye, silahturami dan doa syukur, baik itu di Alor maupun di Rote, tempat asal ibunya, di mana di kedua tempat itu, masyarakat setempat juga menonjolkan kesan identitas yang kuat.
Di lain pihak, Simon Petrus Kamlasi (SPK) juga menunjukkan corak modal identitas yang sama. Sebagai putera daerah asal TTS, SPK menjadi kebanggaan masyarakat Timor, terkhususnya masyarakat TTS karena dirinya merupakan jenderal pertama yang berasal dari Kabupaten TTS. Hal ini berdampak pada kesuksesannya meraih simpati masyarakat dari kampung halamannya tersebut yang terlihat melalui kampanye-kampanye di TTS. Misalnya di Desa Linamnutu, di mana rombongan SPK disambut dengan tarian dan tangisan warga desa yang terharu melihatnya. Selain itu aksi SPK tidur di rumah warga desa serta deklarasi-deklarasi dukungan masyarakat TTS juga memperkuat modal identitas SPK.
Selain modal identitas dari kedua kelas politik berlatar belakang TNI/Polri tersebut, terlihat juga modal popularitas yang menjadi faktor munculnya variasi kelas politik dari kedua tokoh TNI/Polri ini. Konsep modal popularitas diadopsi dari Nimmo ( dalam Suwardi & dkk, 2016), bahwa modal popularitas adalah sebuah kapasitas dan sumber daya seorang figur untuk mencuri perhatian masyarakat, dengan dibangunnya pencitraan yang baik untuk menimbulkan simpati masyarakat.
Tulisan ini melihat hal tersebut pada kedua kelas politik TNI/Polri jauh sebelum mereka berdua mencalonkan diri. Johni Asadoma misalnya, telah memiliki modal popularitas di NTT saat ia menjadi petinju, di mana ia beberapa kali memenangkan kompetisi tinju tingkat nasional dan internasional.
Popularitas Johni Asadoma juga naik secara signifikan saat ia sebagai Kapolda NTT mengunjungi beberapa daerah yang memiliki basis massa banyak, seperti TTS, Flores, Alor, Sumba, Rote dan Sabu. Di lain sisi, SPK juga telah memiliki modal popularitas saat ia kembangkan pompa hidraulik rakitannya di TTS, Kabupaten Kupang dan TTS. Pompa hidraulik tersebut tentu saja langsung menarik simpati dari masyarakat setempat, mengingat kondisi daerah-daerah NTT yang kering dan kekurangan saluran air bersih ke kawasan permukiman.
Sebagai kesimpulan, tulisan ini melihat bahwa munculnya variasi kelas politik pada Pilgub NTT 2024 tidak terlepas dari situasi ekonomi dan masyarakat NTT. Ekonomi NTT yang bergantung pada transfer APBN menjadi “arena bermain” bagi elit-elit kapital untuk memperebutkan akses kepada sumber daya negara, sehingga memengaruhi munculnya kelas politik seperti pengusaha. Selain itu, kondisi sosial masyarakat NTT yang primodial dan kuat dengan identitas suku juga memengaruhi munculnya kelas politik dengan corak ketokohan yang karismatik. Pada kasus SPK sendiri dapat dilihat bahwa kondisi lingkungan kering NTT juga memengaruhi popularitas melalui bantuan pemasangan pompa air di beberapa daerah di NTT. Popularitas ini kemudian menjadi atribut yang dimiliki untuk muncul sebagai varian baru kelas politik, yakni kelas politik berlatar belakang militer dalam Pilgub NTT.