Jakarta, indotimex.com Berurusan dengan orang-orang yang tersandung masalah hukum atau butuh pendampingan hukum karena mencari keadilan, selalu memberikan pengalaman batin tersendiri. Kadang-kadang penegak hukum (Advokat/Pengacara) mengambil jalur konfrontasi ketika menangani suatu persoalan hukum yang berat, karena merasa berada pada pihak yang benar. Tapi ada juga saat di mana terpaksa harus membela tersangka/tergugat atau yang bersalah, karena ada hal yang mengetuk hati nurani, sehingga keputusan “membela yang salah” menjadi keharusan yang tidak bisa ditolak.
Yang terakhir ini, misalnya contoh kasus seorang laki-laki yang mencuri HP dan uang, nilainya sampai belasan juta. Kalau hanya melihat kasus ini secara sempit, sebatas hanya pada si pelaku dan perbuatannya, semua pasti ikut geram dan sepakat untuk orang ini dihukum setimpal (dalam 362 KUHP hukumannya maksimal 5 tahun penjara). Tapi jika kasus ini dilihat lebih luas, bahwa si pelaku adalah seorang perantau miskin yang bekerja serabutan, punya seorang istri dan dua anak kecil, anak keduanya bahkan belum genap 40 hari usianya. Apalagi ternyata aksi nekatnya mencuri HP dan uang adalah untuk membiayai persalinan Istrinya saat melahirkan anak keduanya itu. Maka akan ada dorongan hati nurani untuk menahan diri tidak ikut menghakimi lebih jauh si pelaku.
Benar bahwa si pelaku jelas bersalah karena mengambil harta orang lain tanpa hak. Tapi bayangkan bagaimana jika dia tidak mendapatkan uang untuk biaya persalinan Istrinya? Bisa dua nyawa melayang hanya karena tidak ada penanganan medis yang tepat. Atau bagaimana jika si pelaku dipenjara karena perbuatannya, siapa yang akan bertanggungjawab jika istri dan kedua anaknya terlantar? Please, jangan jawab “negara yang akan melindungi”, karena itu hanya bualan. Hari ini bukan cuma mencari pembuktian janji-janji manis politisi yang sulit, mencari batang hidung negara saat rakyat susah lebih sulit lagi, yang ada justeru dalam kondisi sulit, rakyat tetap “diperas” atas nama pajak (duhh maaf jadi melenceng sedikit