News  

Menanggapi Peralihan Cagar Alam Mutis Tokoh Pemuda Biinmaffo Petrus Usboko Angkat Bicara

Jho Aban / Roland Tahoni

 

INDOTIMEX.COM-Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan secara resmi telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang peralihan status Cagar Alam Mutis di Wilayah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi Taman Nasional.

SK bernomor 946 tahun 2024 tentang peralihan status Cagar Alam Mutis menjadi Taman Nasional ini dikeluarkan pada tanggal 30 Juni 2024 lalu.

Peralihan status Cagar Alam Mutis menjadi Taman Nasional ini, kemudian disusul dengan deklarasi Taman Nasional Mutis Timau, yang digelar di Kawasan Mutis Timau, Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten TTS, Provinsi NTT pada Minggu, 8 September 2024.

Peralihan status Cagar Alam Mutis menjadi Taman Nasional ini, sontak menuai reaksi berbagai kalangan.

Banyak masyarakat menolak peralihan status tersebut dengan berbagai macam alasan salah satunya adalah ancaman kerusakan lingkungan serta rusaknya situs – situs budaya yang ada di kawasan Mutis Timau.

Menanggapi berbagai reaksi masyarakat tersebut, Pelaksana Tugas (Plt) Bupati TTU, Drs. Eusabius Binsasi, angkat Bicara.

Saat ditemui Wartawan di Ruang kerjanya, Selasa 22 Oktober 2024, Eusabius mengatakan, SK tentang peralihan status Cagar Alam Mutis menjadi Taman Nasional ini telah disosialisasikan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi NTT kepada instansi-instansi terkait dan juga kepada Tokoh – Tokoh adat, Tokoh masyarakat dan Tokoh – Tokoh Pemerintah di Wilayah Kecamatan Mutis dan Kecamatan Miomaffo Barat, Kabupaten TTU.

Eusabius menjelaskan, berdasarkan penjelasan yang diperoleh dari pihak BKSDA dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi NTT, SK dari Kementerian Lingkunga Hidup dan Kehutanan bukanlah penurunan status melainkan hanya pengalihan status dari Cagar Alam menjadi Taman Nasional.

Baca Juga :   Jelang Kunjungan Paus Fransiskus ke Timor Leste, PLBN Motamasin Jalin Koordinasi

Ia menuturkan, pihak BKSDA Provinsi NTT juga telah meyakini bahwa beralihnya status Cagar Alam Mutis menjadi Taman Nasional tidak akan mengganggu Alam serta lokasi ritus – ritus budaya yang ada di kawasan Gunung Mutis.

Bahkan, sambungnya, peralihan status tersebut akan memberikan dampak ekonomi yang lebih luas bagi masyarakat karena wilayah tersebut akan semakin ditata dan dirawat menjadi lebih baik dan lebih menarik yang bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan untuk berkunjung ke lokasi tersebut.

“Pihak BKSDA sudah memastikan bahwa pengalihan status tersebut sama sekali tidak akan merusak alam. Bahkan akan semakin ditata dan dirawat supaya lebih berdaya fungsi untuk ekonomi, kesejahteraan, rekreasi dan terutama untuk penelitian-penelitian,” ungkap Eusabius.

Menyikapi pernyataan Plt. Bupati TTU, Eusebius Binsasi, Salah Satu Tokoh Pemuda Biinmaffo, Petrus Usboko meminta kepada Pemerintah Daerah untuk memastikan bahwa Peralihan Status Gunung Mutis benar-benar Menguntungkan Masyarakat dan Lingkungan

Menurut Alumni Fisipol Unimor Kefamenanu tersebut, peralihan status Cagar Alam Mutis menjadi Taman Nasional akan menimbulkan beberapa personal krusial yang mengancam lingkungan, Situs Budaya dan Masyarakat.

Dijelaskan, Walaupun Plt. Bupati dan BKSDA meyakini bahwa perubahan status ini tidak akan merusak lingkungan atau situs budaya, kekhawatiran masyarakat tentang potensi kerusakan tidak bisa diabaikan begitu saja. Pengelolaan yang buruk di kawasan Taman Nasional dapat menyebabkan dampak negatif, seperti komersialisasi berlebihan atau pembangunan yang merusak keanekaragaman hayati dan situs budaya. Pemerintah harus menjamin adanya studi lingkungan yang mendalam dan melibatkan ahli lokal untuk memastikan dampak jangka panjang bisa diprediksi dan dihindari.

Selain itu, Plt. Bupati menyebutkan sinergi dengan lembaga adat, tetapi pertanyaannya adalah seberapa besar keterlibatan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan ini? Masyarakat adat yang memiliki kearifan lokal seharusnya menjadi aktor utama dalam pengelolaan kawasan. Tanpa konsultasi dan persetujuan penuh dari masyarakat lokal, peralihan status ini bisa dianggap sebagai pelanggaran hak-hak adat.

Baca Juga :   Simak 5 Tips Disini Untuk Memulai Senin dengan Semangat dan Harapan Baru

Plt. Bupati menyatakan bahwa SK ini sudah disosialisasikan, tetapi seberapa terbuka dan partisipatif proses ini Banyak kasus di mana masyarakat lokal merasa bahwa mereka hanya diberitahu tanpa benar-benar dilibatkan dalam diskusi. Sosialisasi yang terburu-buru atau tidak menyeluruh bisa memicu penolakan dari masyarakat yang merasa terpinggirkan.

Plt. Bupati menekankan potensi peningkatan ekonomi dari pariwisata dan infrastruktur, namun kenyataan di lapangan bisa berbeda. Masyarakat lokal sering kali hanya mendapatkan sedikit manfaat langsung dari pariwisata besar, sementara dampaknya, seperti hilangnya akses ke lahan, sumber daya alam, atau rusaknya habitat, lebih besar dirasakan oleh mereka. Pemerintah harus menjelaskan secara rinci bagaimana manfaat ekonomi ini akan dibagikan kepada masyarakat, termasuk melalui skema-skema pemberdayaan lokal yang nyata.

Walaupun Plt. Bupati menekankan bahwa kearifan lokal akan dijaga, penting untuk melihat bagaimana hal itu akan diatur secara hukum. Pengalaman dari kawasan lain di Indonesia menunjukkan bahwa kearifan lokal sering kali tergerus ketika pemerintah memperkenalkan aturan baru yang lebih berpihak pada industri atau kepentingan ekonomi besar. Ada kebutuhan untuk memastikan regulasi yang jelas yang melindungi tradisi, hak ulayat, dan kehidupan sosial budaya masyarakat di kawasan tersebut.

“Dengan poin-poin ini, pemerintah perlu dipertanyakan tentang bagaimana mereka akan memastikan bahwa peralihan status ini benar-benar menguntungkan masyarakat dan lingkungan, serta tidak sekadar menjadi langkah formalitas atau demi kepentingan pihak tertentu,” Tegasnya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *